Bukan sekedar bekerja, tapi panggilan jiwa.

  Assalamu'alaykum..

  Hai-hai semua.. Apa kabar? Semoga saat ini, di manapun kita berada selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah.

  Sebenarnya saya bingung mau berbagi hal apa. Belum ada cerita menarik yang pantas saya bagikan. Apalagi ibu-ibu di IIP ini adalah ibu-ibu luar biasa yang sudah mumpuni ilmunya. Berpengalaman dan patut diteladani.

  Jadi, mungkin saya hanya cerita dan sharing aja ya. Kebetulan tadi pagi-pagi, Pak suami mendadak bertanya. Serius. Apakah saya berniat bekerja di sini -- di Singapura --  negeri yang sudah 2 tahun ini saya tinggali. Saya menjawab santai, tentu saja mau kalau diijinkan. Mendengar pertanyaan itu meluncur dari bibirnya saja hati saya sudah sumringah. Apalagi kalau SIM-nya beneran keluar.

  Guru. Profesi itu sudah melekat dalam diri saya. Profesi yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya akan saya jalani. Dulu, saya tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Walau demikian, beberapa orang guru kesayangan saya saat sekolah pernah mengatakan kalau sebaiknya saya menjadi guru saja. Entah darimana datangnya penilaian mereka. Tampaknya, apa yang terjadi di kemudian hari, tak lepas dari doa mereka. Para guru saya yang tersayang. Saat makan bangku kuliah, teman-teman suka mengajak saya melamar pekerjaan sebagai tentor/tutor di lembaga bimbingan belajar. Pekerjaan sambilan anak kuliah untuk mencari biaya tambahan sebagai mahasiswa. Maklum, sebagian mereka hidup ngekos, jauh dari orangtua. Sekalian nyari pengalaman, kata mereka. Pun saya selalu menolak. Dunia ajar mengajar belum menarik perhatian saya kala itu.

Sedang diskusi persiapan materi ajar, saya yang pakai kerudung biru.
  Saya baru mulai belajar mengajar, saat lulus kuliah. Bingung. Drama 'pengacara' alias pengangguran banyak acara di mulai. Sudah masukin banyak surat lamaran kerja, tapi belum jua ada panggilan. Iseng-iseng saya melamar menjadi tentor/tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota Medan. Saya langsung diterima dan ditraining sebagai calon pengajar Bahasa Inggris. Tapi belum selesai masa training, saya mendapat tawaran dari seorang teman untuk mengajar pelajaran tambahan bersama tim di beberapa sekolah di sebuah kabupaten di provinsi Riau dalam rangka persiapan UN SMA. Nama Kabupatennya, Rokan Hulu. Berbekal keberanian saya menyanggupi tawaran tersebut. Bagaimana tidak, angka yang ditawarkan cukup menggiurkan bagi saya yang fresh graduate.

Jalan pagi sambil beradaptasi dengan lingkungan. Di depan salah satu sekolah tempat kami bertugas.
  Seiring perjalanan, saya menemukan banyak tantangan saat itu. Belum berpengalaman, langsung terjun ke dunia mengajar. Ngga main-main. Targetnya, seluruh SMA di kabupaten Rohul lulus dengan nilai terbaik. Medan yang cukup menarik, saya yang 'mabok' kendaraan harus terbiasa naik turun shuttle bus, keluar masuk perkebunan sawit. Guru-guru di beberapa sekolah yang kurang bersikap kooperatif, persiapan yang belum matang merupakan hal-hal yang menantang saat itu. Sudah terlanjur basah, mandi sekalian. Semua dihadapi dengan teamwork dan kerja keras. Lama kelamaan saya mulai enjoy dengan aktivitas yang saya jalani. Lelah dan kehabisan suara adalah hal yang biasa saya temui tiap minggu sehabis mengajar. Di sanalah pengalaman saya masuk kelas pertama kali. Pengalaman yang luar biasa. 


  Selesai bertugas di Riau, kami kembali ke daerah masing-masing. Lalu saya menganggur lagi. Hingga 5 bulan kemudian, seorang teman saat kuliah mengabarkan saya mendapatkan pekerjaan di Batam, di perusahaan tempat dia bekerja. 6 bulan lamanya saya bekerja sebagai karyawan swasta sampai teman satu kos saya yang kebetulan seorang guru, mengajak saya bergabung di sebuah SD tempat dia mengajar. Waktu itu saya urungkan menerima tawaran itu. Saya ngga PD ngajar anak SD. Karena metode yang saya dapatkan sebelumnya adalah ngajar anak SMA ala tentor bimbel. 


Bersama anak-anak di tahun terakhir mengajar
  Mengingat dan menimbang berbagai hal, singkat cerita saya terima tawaran beliau. Saya didaulat sebagai guru mata pelajaran Bahasa Inggris sesuai ijazah saya sebagai sarjana sastra inggris. Waktu itu sekolahnya baru berdiri 3 tahun. Saya mendapat amanah menjadi guru kelas 3. Setelah setahun menjadi guru kelas 3, saya dianggap pantas untuk memegang kelas 1, yang merupakan kelas primadona bagi guru SD. Hahaha. Kenapa disebut primadona, karena tentu saja stok sabar, ide, metode di kelas ini harus kaya dan tidak sederhana. 


Bareng temen-temen saat istirahat

  Di sinilah saya mulai jatuh cinta dengan dunia pendidikan. Saya mulai belajar sedikit-sedikit seputar kebutuhan saya sebagai seorang guru. Sedikit-sedikit mulai belajar psikologi, parenting, metode mengajar, dan tentu saja, belajar sabar. Saya hanya berjodoh 3 tahun di sekolah ini karena suami mendapatkan pekerjaan lain di Jakarta. Walau hanya tinggal sebentar dan mencari nafkah di Batam, tapi ada banyak sekali memori indah dan 'keluarga baru' di sana. Ngga heran kalau kami masih selalu merindukan Batam dan orang-orangnya yang sudah seperti keluarga sendiri.  


  Saat pindah ke Jakarta, saya sedang hamil anak kedua. Saya tidak bekerja setelah melahirkan dan menyusui. Saya belum berpikir untuk kembali mengajar di sekolah saat itu. Lalu, pada Ramadhan 2012 atas ijin Allah saya menyaksikan sakaratul maut adik saya. Pada masa itulah titik balik diri saya. Lama saya merenung, bila seandainya saya yang saat itu dipanggil oleh Allah. Perenungan itu menghasilkan pemikiran bahwa saya ingin kembali mengajar. Mengabdi pada dunia pendidikan. Saya ingin menjadi agent of change, penerus risalah para nabi. Seorang perempuan yang bermanfaat bagi oranglain dan terus menyebarkan ilmu yang berguna. Amal yang tak akan putus walau kelak jasad ini sudah tertidur jauh di dalam tanah. 

  Akhirnya saya kembali mengajar pada tahun 2014 di sebuah sekolah yang ngga jauh dari rumah. Sekolah yang sama tempat anak sulung saya masuk TK B.

saat training metode pengajaran kinestetik
  Di sekolah kedua inilah saya makin jatuh cinta pada dunia pendidikan. Sekolah yang tidak menerapkan tes masuk terhadap calon murid ini merupakan wadah saya meng-upgrade diri. Kemampuan sebagai guru benar-benar diuji dan dikerahkan. Tak cukup hanya sabar untuk bekerja di sekolah ini. Kami dituntut untuk kreatif, cerdas, amanah, ngga boleh mati gaya menghadapi anak dengan berbagai rupa, termasuk ABK. Sekolah ramah anak yang guru-gurunya mengajar dengan hati. Saat mengabdi di sini bukan saja menguras fisik, namun juga cukup menguras mental dan waktu. Tapi di sini menariknya. Ada banyak kesempatan untuk mengembangkan diri di sekolah ini. Pelatihan-pelatihan dan tantangan akhirnya menjadi motivasi yang mendorong para guru meningkatkan kualitas dalam mendidik. Sayang, saya hanya berkesempatan mengabdi selama 1 tahun saja di sekolah ini karena suami (lagi-lagi) harus pindah kerja ke Singapura.

  Di Singapura, saya pikir saya ngga bisa berbuat banyak. Perlu adaptasi dan lainnya agar bisa survive di awal kepindahan. Ternyata Allah memberikan jawaban yang lain. Saat pertama kali ikut perkumpulan pengajian ibu-ibu yang anggotanya orang Indonesia semua, guru ngaji yang mendengarkan bacaan saya langsung merekomendasikan saya untuk mengikuti ujian calon guru qiraati. Saya senang sekali sambil mempersiapkan diri mengikuti ujian yang dimaksud. Qadarullaah, saya lulus ujian tersebut dan memperoleh sijil (sertifikat) mengajar Alqur'an dengan metode qiraati di Singapura. Ngga pernah menyangka saya akan menjadi guru Alqur'an justru di negeri yang muslimnya minoritas. Sejak itu saya aktif mengajar Alqur'an dengan metode qiraati pada beberapa orang anak - anak teman saya. Alhamdulillaah, meski mengajar anak oranglain, pendidikan anak-anak ngga terlantar. Pak suami masih mempercayakan pendidikan Aira dan Nadine kepada saya saja. Beliau lebih percaya anak-anak dipegang langsung oleh ibunya.

  Saya lalu meyakini bahwa menjadi seorang pendidik adalah jalan hidup dan panggilan jiwa saya. Lalu hal itu berkembang menjadi suatu hal yang saya senangi. Sesuatu yang menjadi passion saya. Pak suamilah yang selama ini selalu mendukung dan menjadi mentor serta partner yang luar biasa. Dari beliau saya belajar untuk ikhlas, semangat menuntut ilmu, memperbaiki diri, menebarkan manfaat kepada siapa pun, kapanpun, dan di mana saja. Maka, saya terus berusaha untuk bersyukur atas peran hidup yang dipilihkan Allah untuk saya.

Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lainnya.
Karena yang terbaik diantara kamu adalah yang belajar Alqur'an dan mengajarkannya.
Karena kelak Alqur'an akan menjadi syafaat bagi yang suka membacanya.
Alasan-alasan tersebut yang terus membakar semangat saya untuk mengajar, khususnya mengajar Qur'an. 

Bagi saya, menjadi guru bukan hanya profesi semata. Bukan sekedar ladang untuk bekerja. Ia adalah takdirNya yang indah dan panggilan jiwa.


Comments

  1. Waah.. masyaaAllooh... seorang guru dengan “passion” adalah guru yang terbaik!

    Barookalloohu fiikh.. mbak..
    💖💖💖💖

    ReplyDelete
  2. Masya Allah.. tetap semangat dan terus menebar manfaat yaa mba.. ❤️❤️

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts